Mengenal Seluk-Beluk Bid'ah (Berbagai Alasan dalam Membela Bid'ah)

Sesama muslim, wajib hukumnya saling mengingatkan, termasuk mengenai Bid'ah. Bid'ah, sudah banyak dilakukan oleh umat muslim sekarang, ketika kita mengetahui bahwa itu Bid'ah mereka pasti akan berkata:
  1. "Kan ini udah tradisi dari nenek moyang"
  2. "Ustad si fulan juga ngelakuin ko, berarti boleh dong ikut"
  3. "Amalan itukan termasuk Baik kan? masa gak boleh"
  4. "Ya kan yang ngetahuin amalan kelak nanti hanya Allah jadi ya berbuat baik aja lah toh hal seperti itu (Bid'ah) juga tidak merugikan kan?"

bid'ah

Coba baca Ayat Al-Qur'an ini.

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ وَلَكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (Q.S. Al-Ma'idah: 103)

Artinya:
Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.

Maksud dari ayat ini:
Dalam sejarah Arab disebutkan bahwa orang-orang musyrik diharamkan memakan daging sebagian hewan dan mereka menisbatkan hukum ini dari Allah Swt. Dewasa ini juga di sebagian negara seperti India, tindakan-tindakan semacam ini mengenai sapi dapat kita saksikan, dimana orang-orang Hindu menganggapnya sebagai hewan atau binatang suci. Karena itu segala bentuk penyiksaan terhadap binatang ini hukumnya haram, bahkan ditetapkan mengkonsumsi daging sebagian binatang tidak dibenarkan dalam semua agama ilahi. Namun penetapan halal dan haram bukan di tangan manusia, sehingga manusia tidak bisa dengan seenaknya menentukan suatu hukum.

Manusia, binatang dan seluruh benda yang ada adalah makhluk Allah, karena itu Dia-lah semata-mata yang menentukan hukum tersebut. Pada dasarnya segala bentuk pemanfaatan terhadap fasilitas yang ada di alam, baik benda padat, tumbuh-tumbuhan ataupun binatang adalah dibolehkan dan halal, kecuali pengharaman tersebut telah ditetapkan melalui hukum-hukum agama ilahi. Terkadang sebagian penyelewengan juga terjadi dalam hukum-hukum agama, dimana para pemuka dan ilmuwan setiap aliran agama acuh tak acuh dan menyelewengkan pengamalan hukum-hukum agama ilahi.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
  1. Penetapan hukum dan undang-undang sosial terhitung bidah bila bertentangan dengan hukum dan perintah Allah. Kafir bukan semata-mata mengingkari keberadaan Allah, tapi pencetus bidah juga terhitung kafir.
  2. Menelantarkan binatang tidakboleh, karena itu betapa tercelanya menelantarkan manusia.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ (QS. Al-Ma'idah:104)

Artinya:
Apabila dikatakan kepada mereka: `Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul`. Mereka menjawab: `Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya`. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?

Maksud dari ayat ini:
Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, ayat ini mengatakan, setiap kali dikatakan kepada kaum Musyrikin yang merupakan golongan pelaku bidah, agar mereka tidak melakukan penyelewengan dan kembali kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw, mereka berusaha menjustifikasi perbuatannya. Menurut mereka, nenek moyang kami juga melakukan hal ini! Karena itu kami juga melakukan hal yang sama!

Al-Quran al-Karim saat menjawab memberikan nasihat sebaliknya dan menyatakan, apakah benar perilaku kalian mengikut segala tradisi yang dilakukan orang-orang terdahulu? Karena betapa banyak perbuatan mereka yang tidak sesuai dan tidak rasional.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
  1. Berlakulah sesuai dengan perintah Allah, dan jangan mengikuti secara membabi-buta tradisi nenek moyang.
  2. Kita bukan bagian dari kubu tradisionalisme dan bukan juga dari modernisme, tapi senantiasa bersandar pada ilmu pengetahuan dan petunjuk wahyu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (QS. Al-Ma'idah:105)

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Maksud dari Ayat ini:
Bila ayat-ayat sebelumnya, menyeru orang-orang Musyrik agar menjauhkan diri dari perilaku mengikuti nenek moyang, maka ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Ayat ini mengatakan, bukankan tugas kalian hanya membimbing orang-orang yang tersesat lalu melakukan amar makruf dan nahi mungkar? Bila bimbingan kalian tidak memberikan hasil, maka tidak perlua membuat kalian berputus asa. Setidaknya, kalian telah melakukan tugas untuk menjaga agama. Sebagai balasannya, Allah Swt akan menjaga kalian dari perbuatan jahat mereka dan membalas pahala kalian di Hari Kiamat. Selain itu seorang Mukmin harus mawas diri agar dapat menghindari pengaruh jahat. Karenanya, pesan utama ayat ini agar orang Mukmin lebih bersabar dan menguatkan iman dan spiritual.

Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:‎
  1. Tugas utama dan pertama orang Mukmin adalah mengontrol diri dan hawa nafsu.
  2. Dosa yang dilakukan orang lain jangan dijadikan untuk kita ikut melakukan dosa. Artinya, bila masyarakat rusak, kita harus tetap menjaga diri.
  3. Setiap orang hanya bertanggung pada perbuatannya di Hari Kiamat dan tidak ada yang menanggung dosa orang lain.
  4. Keyakinan akan adanya pengadilan di Hari Kiamat membuat setiap orang berpikir untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.

Masih kurang? ini sekarang ane jelasin mengenai Seluk Beluk Bid'ah yang masih belum mengerti sehingga dengan gampang mereka bilang " Berarti Hp, Motor, Mobil, Pesawat, Internet, Bid'ah dong? "

Mobil, HP dan komputer termasuk bid’ah.
Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.
Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.

Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)

Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)

Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.

Yang penting kan niatnya!
Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”
Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)

Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”

Ini kan sudah jadi tradisi di tempat kami.
Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi tradisi kami…”

Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)

Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.

Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam.

Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba.

Bahkan kadang kami menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya.

Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban kehidupan. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada tuntunannya.

Semua umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz melakukan hal ini.
Ada juga yang berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, “Perayaan (atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”

Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru. Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang melarang berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi sunnah seperti perayaan maulid ataupun tahlilan.

Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat Islam), apalagi dengan amalan sebagian kelompok?

Ketahuilah saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?!

(Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)

Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] : 116)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang.

Sumber "http://www.kaskus.co.id/thread/5215c22da2cb17297a000005/mengenal-seluk-beluk-bidah-berbagai-alasan-dalam-membela-bidah--muslim-masuk/"


Kodokoala: Religi

Berlangganan Artikel Melalui Email Gratis:

0 Komentar untuk "Mengenal Seluk-Beluk Bid'ah (Berbagai Alasan dalam Membela Bid'ah)"

Posting Komentar

Perhatian!
Silahkan beri komentar Anda dengan sopan tanpa menyinggung agama atau ras tertentu.

Jika ingin menyertakan tautan/link menuju situs web tertentu, harap komentar yang berhubungan dengan topik agar komentar Anda bisa kami publikasikan. Terima kasih.